Hampir 100 % dari kasus anak bermasalah hukum dan anak korban kekerasan yang telah dihimpun oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Sosial Kabupaten Belitung merupakan anak-anak yang berada di keluarga yang tidak lagi lengkap. Hal ini tentu saja berkaitan dengan Angka Perceraian dan Angka Pernikahan Anak yang juga memiliki angka cukup tinggi di Belitung ini. Fakta dari kasus-kasus yang terjadi di Kabupaten Belitung cukup mencengangkan dan selalu membuat public terhenyak.
Bagaimana tidak, anak-anak yang semestinya masih menikmati masa-masa belajar dan bermain, kemudian bisa jadi menjadi salah satu dari pelaku dan korban dari kekerasan seksual. Hal yang amat sangat membuat miris adalah ketika peran teman sebaya yang sedemikian mempengaruhi sehingga anak-anak yang tidak terasuh dengan baik ini sedemikian mudah dan rentannya menyerap hal-hal negative dari lingkungan sekitar. Mereka dengan amat mudahnya mengakses segala bentuk aksi pornografi dari tontonan smartphone maupun dari aksi penyanyi organ tunggal yang ditanggap setiap hajatan. Mereka juga malah merasa keren sekali bila bisa bolos sekolah, nongkrong di warnet, bahkan ikut-ikutan mengisap aibon dan mengkonsumsi komix. Kerentanan ini tidak hanya dialami oleh anak laki-laki tapi juga anak perempuan. Sungguh hal yang menyedihkan adalah ketika masyarakat kita malah justru menganggap perilaku-perilaku ini adalah suatu hal yang biasa saja dan justru terkadang tidak sadar bahwa perilaku ini terdorong dari sikap ketidakpedulian masyarakat pada lingkungan sekitar.
Beberapa tahun yang lalu, public Indonesia sontak terkesiap dengan adanya kasus Ryan seorang pembunuh sadis penyuka sesama jenis. Fakta dari kasus Ryan terungkap bahwa Ryan adalah seorang yang tumbuh dewasa dengan tumpukan dendam terhadap ibu yang mengabaikannya sejak kecil. Temuan dari berbagai penelitian terhadap pelaku kejahatan psikopatik di dunia selalu menemukan bahwa mereka berasal dari keluarga yang terpecah. Bahwa kekerasan dan peristiwa traumatic atau kebencian terhadap salah satu atau bahkan kedua orangtuanya.
Fakta dari semua teori parenting bahwa bagaimana seorang anak akan bertumbuh sebagai manusia dewasa ditentukan dari rumah yang menaunginya. Membangun “rumah” sebagai keluarga bukan hal yang sederhana. Bagaimana keluarga yang membentuk lemah atau unggulnya seorang anak manusia, baik secara kognitif maupun dalam lingkup perilaku sosialnya. Ada satu pepatah jawa ‘swarga nunut neraka katut’ (ke surga ikut, ke neraka pun turut) yang bisa diartikan bahwa bagaimana seorang anak baik sekarang maupun di masa depan sebagai dampak dari perilaku dan pola pengasuhan orangtuanya.
Keluarga, secara utuh, sesungguhnya adalah sebuah lembaga pendidikan non formal yang memiliki ragam fungsi dalam perkembangan kepribadian dan pendidikan anak di rumah, yang secara positif akan memberi dampak pada pendidikan anak di sekolah. Fungsi keluarga sedemikian krusial, yakni sebagai pengalaman pertama yang menjamin kehidupan sosial dan menanamkan dasar pendidikan moral anak. Dari keluarga pulalah seorang anak mendapat kesempatan belajar berbagai ilmu pengetahuan dan ketrampilan, sebagai bekal menjadi manusia dewasa yang mandiri.
Rumah tangga damai sejahtera dengan ayah-ibu yang penuh limpahan kasih dan perhatian, akan menggiring anak dalam surga kosmis. Sebaliknya, rumah tangga nir kasih yang sarat pengabaian, pola asuh salah, dan terlebih kekerasan, akan menjerembabkan anak dalam neraka dunia, di mana si anak berakhir menjadi manusia dewasa yang rapuh dan dirundung masalah psikologis serta sosial.
Namun kendati ayah dan ibu memiliki porsi yang sama dalam pembentukan karakter anak, kita tidak bisa menafikan fakta bahwa peran ayah dalam hal ini seolah tersisih sebagai konsekuensi dari tanggung jawabnya sebagai pencari nafkah. Adalah hal yang umum jika seorang anak kehilangan figur ayah yang sibuk mencari nafkah dari pagi sampai malam bahkan sehingga sampai ke rumah pun masih sibuk dengan smartphonenya masing-masing
Pada sebuah studi selama rentang 2008-2010 di 33 Provinsi di Indonesia membuahkan predikat Fatherless Country (Negeri Tanpa Ayah), yakni sebuah kondisi sosial dengan beragam penyakit sebagai akibat gagalnya kaum ayah dalam menjalankan peran domestiknya. Indonesia ‘meraih’ peringkat ke-3 dunia, hanya satu tingkat di bawah Amerika Serikat yang selama ini mendapat label sebagai negara dengan dekadensi moral yang luar biasa. Amerika sendiri sebagai runner up Fatherless Country melalui US Department of Health and Human Services, melakukan rangkaian survey dan studi dengan hasil rentetan konsekuensi yang harus ditanggungnya sebagai ‘Negeri Tanpa Ayah’: hampir semua penyakit sosial di negara tersebut dikaitkan dengan ketidakhadiran kaum pria pada pengasuhan anak.
Anak-anak dari rumah tangga nihil ayah cenderung tumbuh menjadi manusia dewasa yang miskin secara finansial, kecanduan alkohol dan obat terlarang, putus sekolah, dan rentan terhadap penyakit baik fisik maupun mental, serta kejahatan pornografi dan prostitusi. Anak laki-lakinya cenderung terlibat dalam perkara kriminal dan anak perempuannya rawan mengalami kehamilan usia remaja. Merekapun merokok empat kali lipat jauh lebih banyak dibandingkan dengan anak-anak yang dekat dengan ayahnya. Pelaku KDRT umumnya juga memiliki ayah dengan pola perilaku yang sama, dan anak-anak perempuan mereka cenderung mendapat pasangan pelaku KDRT.
Menurut psikolog yang juga pemerhati parenting, Elly Risman, ayah adalah penentu Garis-garis Besar Haluan Keluarga (dikutip dari Tim Yayasan Kita dan Buah Hati). Tanggung jawab para ayah meliputi: menentukan visi dan misi keluarga, menyediakan finansial keluarga, menyediakan sandang, pangan dan papan beserta isinya, membimbing anak, membuat kebijakan dan peraturan, menentukan standar keberhasilan, menyediakan training dan pemantauan, menyediakan perawatan dari harta dan benda, melakukan pengontrolan, memberikan perlindungan serta mendelegasikan tanggung jawab dan otoritas kepada pihak yang tepat. Sebagai mitra ibu dalam mendidik dan mengasuh anak, peran ayah juga sebagai sahabat dan kawan bermain anak serta guru dan teladan anak.
Semangat Al Quran mengenai pengasuhan justru mengedepankan Ayah sebagai tokoh. Kita kenal Lukman, Ibrahim, Ya’qub, Imron. Mereka adalah contoh Ayah yang peduli. Ibnul Qoyyim dalam Kitab Tuhfatul Maudud berkata: “Jika terjadi kerusakan pada anak penyebab utamanya adalah Ayah.” Rasulullah yang mulia sejak kecil ditinggal mati oleh Ayahnya. Tapi nilai-nilai keayahan tak pernah hilang didapat dari sosok kakek dan pamannya.
Ibu mengemban peran yang tak kalah besar, setidaknya jika kita mengacu pada pepatah Arab bahwa ibu adalah Al ummu madrasatul ula’ (sekolah ) pertama seorang anak, Kondisi motherless (hilangnya sosok ibu dalam kehidupan anak) akan menimbulkan rentetan dampak yang luar biasa. Segala perilaku negativistik baik dalam masa kanak-kanak, remaja, hingga dewasa bisa saja dilakukan oleh mereka yang kehilangan sosok ibu.
Ini secara otomatis menjadi kesimpulan bahwa ayah dan ibu, bahkan segenap anggota keluarga lainnya, wajib bekerja sama melibatkan diri dalam proses pertumbuhan dan pendidikan anak, baik secara kognitif, moral, maupun sosial. Sebab anak yang dilimpahi kasih sayang utuh akan tumbuh menjadi pribadi yang penuh percaya diri.
Di sekolah ia juga dipastikan mendapat nilai pelajaran lebih tinggi, punya kemampuan mengolah stres dan frustrasi yang mumpuni, memiliki kualitas pemecah masalah lebih baik, gemar bermain dan riang-ria, kreatif, serta peka ketika menghadapi masalah. Itulah hal indah yang bisa diterima oleh seorang anak, yakni keterlibatan orang tua dan keluarga dalam pendidikan serta perkembangannya sebagai anak manusia.
Sebab pendidikan merupakan sebuah wahana pembentuk peradaban yang humanis pada seseorang, sebagai bekal bagi dirinya menjadi manusia yang kokoh dalam menjalani kehidupannya. Pada tangan orangtua terletak pilihan, apakah akan menghadirkan surga atau neraka bagi anak-anak mereka.
Dan bicara tentang Kabupaten Belitung menuju Kabupaten Layak Anak kemudian, sungguh sebuah tugas yang tiada putus diemban bagi setiap individu dewasa yang ada di Kabupaten Belitung ini untuk bersedia melaksanakan kewajiban untuk memenuhi dan melindungi setiap anak-anak yang ada di Kabupaten Belitung ini sebagaimana haknya sebagai manusia utuh dan makhluk Tuhan yang sempurna. Dengan bersedia bertanggung jawab untuk memenuhi hak dan melindungi anak-anak, maka kita menjadi garda depan penyelamat generasi bangsa ini. Peran serta ini menjadi peran dari setiap individu, yang kemudian membentuk keluarga, dan terhimpun dalam lingkup lingkungan mulai dari RT, RW, Desa/Kelurahan, kecamatan, sampai Kabupaten. Kepedulian dan tanggung jawab ini akan terinternalisasi dalam nilai-nilai kehidupan disetiap individu sehingga tidak akan lagi mindset bahwa permasalah ini bukan masalah saya, ini hanya masalah anak orang lain. Karena sesungguhnya setiap anak, adalah anak kita. Tanggung jawab kita sebagai pemegang tongkat yang akan menyerahkan estafet ke generasi berikutnya. Dengan demikian, kewajiban kita sebagai Ayah dan Umak bagi setiap anak akan menjadi solusi dari semua permasalahan bangsa ini. Semoga hal ini akan menjadi renungan bagi kita semua.
Penulis : Nina Kreasih, S.Psi
Pemerhati Dunia Anak