
Setiap warga Negara, tak terkecuali perempuan dan anak, berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan seksual, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus oleh Negara. Korban kekerasan seksual, yang kebanyakan adalah perempuan dan anak, harus mendapat perlindungan dan pemulihan dari Negara, termasuk agar korban pulih dari kekerasan seksual yang dialaminya. Upaya tersebut merupakan pemenuhan kewajiban Negara dan sebagai jaminan agar korban terbebas dari segala bentuk kekerasan seksual. Selain itu, pelaku kekerasan seksual harus ditindak setimpal dengan tindak pidana yang dilakukannya dan dijatuhi kewajiban yang berorientasi untuk mencegah pengulangan tindak pidana dan memulihkan korbannya.
Kekerasan seksual terjadi secara berulang dan terus menerus, namun tidak banyak masyarakat yang memahami dan peka tentang persoalan ini. Kekerasan seksual seringkali dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan semata. Padahal fakta menunjukkan bahwa dampak kekerasan seksual terhadap korban sangat serius dan traumatic serta mungkin berlangsung seumur hidup. Bahkan di beberapa kasus, kekerasan seksual dapat mendorong korban melakukan bunuh diri.
Dari aspek yuridis, ada tiga aspek yang harus diperhatikan dalam memahami hambatan yang dihadapi korban, yaitu aspek substansi, struktur, dan budaya hukum. Di tingkat substansi, sekalipun ada penegasan pada ha katas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, berbagai jenis kekerasan seksual belum dikenali oleh hukum Indonesia. KUHP hanya mengatur kekerasan seksual dalam konteks perkosaan yang rumusannya tidak mampu memberikan perlindungan pada perempuan korban kekerasan. Meski kemudian terdapat UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Nomor 23 Tahun 2002 yang kemudian diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang mengenal bentuk kekerasan seksual yang lain (meski juga masih terbatas), namun ketiga Undang-undang tersebut juga hanya bisa digunakan untuk kekerasan seksual yang terjadi dalam ruang lingkup yang terbatas yaitu korban kekerasan dalam rumah tangga, anak , atau korban tindak pidana perdagangan orang.
Dalam konteks perkosaan, penafsiran hukum di Indonesia hanya mengakomodasi tindak pemaksaan hubungan seksual yang berbentuk penetrasi penis ke vagina dan dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat penetrasi tersebut. Akibatnya, perempuan tidak dapat menuntut keadilan dengan menggunakan hukum yang memiliki definisi sempit atas tindak pidana perkosaan itu. Kekerasan seksual tidak semata pada perkosaan ataupun pencabulan, tetapi meliputi juga jenis lain seperti peleceghan seksual, pemaksaan perkawinan, eksploitasi seksual, pemaksaan sterilisasi, penyiksaan seksual dan perubudakan seksual. Berbagai bentuk kekerasan seksual itu dialami oleh perempuan dewasa, anak perempuan, dan mereka yang berkubutuhan khusus seperti orang dengan disabilitas.
Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (selanjutnya disingkat RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual) ini merupakan upaya pembaruan hukum untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut. Pembaruan hukum ini memiliki tujuan, sebagai berikut :
- Melakukan penceghaan terhadap terjadinya peristiwa kekerasan seksual.
- Mengembangkan dan melaksanakan mekanisme penanganan, perlindungan dan pemulihan yang melibatkan masyarakat dan berpihak pada korban, agar korban dapat melampaui kekerasan yang ia alami dan menjadi seorang penyintas.
- Memberikan keadilan bagi korban kejahatan seksual, melalui pidana dan tindakan yang tegas bagi pelaku kekerasan seksual.
- Menjamin terlaksananya kewajiban Negara, peran keluarga, partisipasi masyarkat, dan tanggung jawab korporosi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.
Pembaruan hukum tersebut diwujudkan secara menyeluruh, yang meliputi antara lain : pengaturan tentang penceghan terjadinya kekerasan seksual; hak korban, termasuk pemulihan, hukum acara peradilan pidana kekerasan seksual, termasuk tentang pembuktian; pembantauan penghapusan kekerasan seksual;dan pemidanaan. Selain itu yang terpenting dilakukan adalah bagaimana RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual ini mampu membentuk sistem baru yang lebih melindungi perempuan dari sisi penegakan hukum dan mendorong peran Negara agar lebih bertanggung jawab terhadap upaya pemulihan korban dan pencegahan kekerasan seksual di masa datang.
Diusulkannya RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan upaya perobakan sistem hukum untuk mengatasi kekerasan seksual yang sistemik terhadap perempuan. RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual meruapakan terobosan agar hukum mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan perempuan korban kekerasan karena RUU ini didasarkan pada kajian terhadap pengalaman-pengalaman korban kekerasan dan bagaimana mereka menghadapi proses hukum. (Disadur dari Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, 2017)
(Nina Kreasih, S.Psi)