Pada tanggal 12 November 2018 yang lalu, tagar yang euforia diperbincangkan di media sosial adalah tentang Peringatan Hari Ayah Nasional. Banyak yang tidak mengetahui akan keberadaan peringatan hari ayah nasional ini. Bila kita memperingati Hari Ibu setiap tanggal 22 Desember, maka mengapa Hari Ayah diadakan? Bagaimana sejarah peringatan Hari Ayah di Indonesia? Pertanyaan yang juga hadir adalah adakah peringatan Hari Ayah ini memiliki relevansi terhadap pemaknaan dari keluarga itu sendiri?
Berikut akan dibahas lebih lanjut tentang Hari Ayah Nasional ini.
Sejarah Peringatan Hari Ayah Nasional
Hari Ayah lahir atas prakarsa paguyuban Satu Hati, lintas agama dan budaya yang bernama Perkumpulan Putra Ibu Pertiwi (PPIP). Dilansir dari situs Kemdikbud.go.id, pada 2014 PPIP mengadakan peringatan Hari Ibu di Solo, Jawa Tengah, dengan cara mengadakan Sayembara Menulis Surat untuk Ibu. Pada acara tersebut, sekitar 70 surat terbaik dibukukan dan dibacakan oleh peserta yang terdiri dari anak-anak usia SD, SMP, SMA, mahasiswa, serta umum. Seusai acara, para peserta mengajukan pertanyaan yang membuat panitia penyelenggara terkejut: ”Kapan diadakan Sayembara Menulis Surat untuk Ayah? Kapan Peringatan Hari Ayah? Kami pasti ikut lagi.”
Pertanyaan tersebut menggugah hati untuk mencari tahu kapan Hari Ayah diperingati di Indonesia mengingat ayah juga dinilai sebagai sosok penting di keluarga. Posisi ayah dianggap sejajar dengan ibu dan selalu punya cara sendiri dalam menjalankan perannya sebagai kepala rumah tangga, pemberi nafkah, pelindung, dan masih banyak peran penting lainnya di keluarga. PPIP pun berusaha mencari informasi tentang hari ayah, hingga audiensi ke DPRD kota Surakarta untuk menanyakan kapan Hari Ayah di Indonesia.
Mereka juga mencari tahu, bolehkah seseorang atau lembaga menetapkan sebuah hari yang dijadikan sebagai Hari Ayah jika hari tersebut memang belum ada. Namun, mereka belum mendapatkan jawaban yang memuaskan. Hingga akhirnya, setelah melalui kajian yang cukup panjang, PPIP menggelar deklarasi Hari Ayah untuk Indonesia di Surakarta dan menetapkan tanggal 12 November sebagai Peringatan Hari Ayah Nasional.
Deklarasi tersebut digabung dengan Hari Kesehatan dengan mengambil semboyan “Semoga Bapak Bijak, Ayah Sehat, Papah Jaya”. Pada hari dan jam yang sama, Deklarasi Hari Ayah juga dilakukan di Maumere, Flores, NTT. Dalam deklarasi itu juga diluncurkan buku Kenangan untuk Ayah yang berisi 100 surat anak Nusantara yang diseleksi dari Sayembara Menulis Surat untuk Ayah.
Usai deklarasi, mereka mengirimkan buku tersebut dan piagam deklarasi Hari Ayah kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) serta bupati di empat penjuru Indonesia, yakni Sabang, Merauke, Sangir Talaud, dan Pulau Rote. Sejak saat itulah, tanggal 12 November ditetapkan sebagai Hari Ayah Nasional.
Mengapa perlu ada Hari Ayah?
Menurut teori-teori pengasuhan anak, keluarga digambarkan sebagai suatu struktur ideal dengan kelengkapan dua sosok pengasuh untuk anak, yakni ayah dan ibu. Kehilangan salah satu dari keduanya memang bisa jadi bukan akhir segalanya, namun pasti berdampak. Kehadiran ayah dan ibu memang untuk saling melengkapi. Seorang ayah membawa sifat disiplin, tanggung jawab dan kerja keras. Sedangkan seorang ibu menggenapinya dengan kasih sayang, rasa sensitif atau kepekaan, dan ketelatenan.
Dalam pola keluarga tradisional, peran ayah adalah seorang pencari nafkah yang hanya bertanggung jawab memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga. Tanggung jawab akan kegiatan domestik dan perkembangan anak sepenuhnya adalah tugas ibu, yang tentu cocok dengan pameo 3M, yakni masak, macak, manak (memasak, berdandan, dan melayani suami di ranjang). Tetapi, ternyata pola pengasuhan keluarga pun berubah. Perubahan itu terjadi bukan karena tuntutan, namun semata dunia yang juga berubah secara demografi, sosial, dan budaya.
Pada masyarakat agraris, seorang lelaki pergi ke ladang untuk berkebun dan beternak, dan perempuannya menjaga lumbung padi di rumah sembari mengasuh anak-anak. Dunia yang bergeser ke budaya industri kemudian menuntut percepatan. Tenaga manusia, baik laki-laki maupun perempuan bernilai ekonomi dan setara dengan mesin. Perempuan tidak dianggap tabu untuk bekerja. Bahkan, pada titik tertentu, perempuan harus bekerja dianggap sebagai sebuah solusi dari tuntutan ekonomi ketika gaji laki-laki tidak laki cukup untuk menutup tuntutan kebutuhan. Perubahan budaya, sosial dan strategi ekonomi tersebut akhirnya membawa perubahan pula dalam pola pengasuhan.
Teori pengasuhan menyebutkan bahwa peran ayah dan ibu sama pentingnya dalam pengasuhan. Artinya, ayah pun memiliki peran yang sama untuk hadir dan terlibat dalam perkembangan anak. Alangkah indah jika ibu yang telaten mengajarkan teori, sedangkan ayah yang pemberani memberi dorongan motivasi dan praktik kepada anak dengan kasih sayang.
Dalam Agama Islam, misalnya, hal itu terlihat dari antara lain: QS At Tahrim:6 yang menyatakan tanggung jawab pendidikan anak ada pada ayah. Di dalam Alquran terdapat 17 dialog yg mengajarkan mengenai pengasuhan anak yg terdiri atas 14 dialog ayah dan anak, 2 dialog ibu dan anak dan 1 dialog guru dan murid. Hal tersebut dapat kita interpretasikan sebagai peran ayah dalam pengajaran yang harusnya setara dengan ibu maupun guru di sekolah.
Pembagian kekuasaan (power sharing) yang lahir dari bergesernya peran ayah biologis ke ayah sosial akan mendorong munculnya ayah emosional, ayah akademis hingga ayah entertain. Peran laki-laki yang selama ini hanya dianggap berharga secara fisik, pelan-pelan akan belajar kepekaan emosi, pengajaran hingga menghiasi ruang-ruang domestik dengan tawa dan candanya seiring peran keterlibatan pengasuhan. Oleh sebab itu, sosok Ayah mengisi semua sendi kehidupan sang anak. Anak mencontoh bagaimana perilaku ayah ketika marah misalnya. Anak juga menyerap nilai-nilai yang diajarkan oleh ayahnya. Anak juga menyimpan semua memori ketika bersama dengan ayahnya termasuk memori ketika mereka bermain, sholat, dan semua aktivitas bersama.
Pada anak laki-laki, peran ayah bagaimana memperlakukan istri dan anak-anak sedemikian melekat sehingga ia akan mencontoh bila ayah mereka memperlakukan semua anggota keluarga dengan baik. Sebaliknya, bila sosok Ayah hilang dalam kehidupannya, maka akan banyak sekali nilai yang “hilang”. Pada banyak kasus, terjadinya penyimpangan perilaku terjadi dengan latar belakang sosok ayah yang tidak hadir dalam hidup sang anak. Anak bisa akan menyayangi dan mengambil role model atau justru bisa akan amat sangat membenci. Sedangkan pada Anak perempuan, sosok ayah adalah cinta pertamanya. Ia akan mencari pasangan juga yang “mirip” dengan ayahnya.
Tantangan ke depan adalah stigma “tidak umum” dalam lingkungan sosial yang belum terbiasa dengan pandangan baru ini. Sehingga, laki-laki pun memerlukan beberapa hal agar tampil percaya diri untuk tampil sebagai “ Inilah Aku, Seorang Ayah”. Sebagai Ayah, juga suami, tentu saja mereka memerlukan motivasi dari pasangan agar tidak cemas menghadapi stigma masyarakat ketika mengasuh anak dianggap mengurangi kadar maskulinitas.
Gerakan perempuan dapat mengakomodasi lewat kampanye bahwa lelaki yang maskulin adalah lelaki yang terlibat secara seimbang dalam pengasuhan anak.
terlibat. Oleh karena itu, karena Hari Ayah Nasional diprarkarsai bukan oleh kalangan laki-laki sendiri, justru dari gerakan Perempuan yang menyadari betul peran pria sebagai sosok ayah yang sedemikian penting dalam membangun keluarga.
Peringatan Hari Ayah Nasional ini diharapkan juga dapat popular seperti peringatan Hari Ibu Nasional yang diperingati setiap tanggal 22 Desember. Berbeda dengan peringatan hari Ibu nasional, yang dilatarbelakang oleh Organisasi Perempuan dengan membawa pesan “Emansipasi Perempuan”, maka Hari Ayah tidak membawa pesan Emansipasi. Karena bagi laki-laki, peran public sudah diamini semua masyarakat sebagai tanggungjawabnya. Hari Ayah dicanangkan agar para Ayah turut berbangga dengan perannya.
Selamat Hari Ayah Nasional untuk semua Ayah Hebat.
(Penulis Artikel : Nina Kreasih, S.Psi – Analis Perlindungan Perempuan pada DPPPAS Kabupaten Belitung)