Tahukah anda bahwa 1 dari 3 perempuan di dunia mengalami kekerasan, baik berupa kekerasan fisik maupun kekerasan seksual (WHO, 2010). Bahkan 1 dari 4 perempuan di negara maju juga mengalami kekerasan hingga mencapai 25%. Di negara-negara Afrika dan Asia, tingkat kekerasan terhadap perempuan paling tinggi yaitu sekitar 37%. Data tersebut menggambarkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan sudah sangat serius dan harus segera ditangani, karena akan menjadi hambatan dalam mewujudkan kesejahteraan perempuan untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan kedepannya.
Kekerasan merupakan bentuk dari ketidakseimbangan antara peran perempuan dan laki-laki hingga menimbulkan dominasi dan diskrimasi yang akan menghambat kaum perempuan untuk maju. Ada beberapa jenis kekerasan yang dialami perempuan yaitu kekerasan fisik, kekerasan emosional atau psikis, kekerasan ekonomi hingga kekerasan pembatasan aktivitas. Dari berbagai kekerasan tersebut, jenis kekerasan yang paling banyak terjadi yaitu kekerasan seksual sebanyak 38%.
Tingginya angka kekerasan membuat Pemerintah yaitu Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) pada tahun 2016 untuk mengetahui informasi mengenai pengalaman hidup perempuan yang mengalami kekerasan dengan usia 15 tahun keatas. Diketahui sebanyak 33,4% perempuan usia 15-64 tahun telah mengalami kekerasan fisik dan/atau kekerasan seksual selama hidupnya, dengan jumlah kekerasan fisik sebanyak 18,1% dan kekerasan seksual 24,2%.
Diantara banyaknya kasus kekerasan pada perempuan, tingkat kekerasan baik secara fisik dan seksual yang dialami perempuan belum menikah yaitu sebesar 42,7%. Kekerasan seksual paling banyak dialami perempuan yang belum menikah yaitu 34.4%, lebih besar dibanding kekerasan fisik yang hanya 19.6%. Angka tersebut membuktikan bahwa masih banyak perempuan yang belum menikah menjadi korban kekerasan, dimana pelaku bisa saja datang dari orang terdekat seperti pacar, teman, rekan kerja, tetangga, dsb. Namun jenis kekerasan ini bisa jadi dilakukan oleh orang asing yang bahkan tidak dikenal oleh korban.
Tingginya angka kekerasan ini menjadi perhatian masyarakat luas, apalagi angka kekerasan dalam hubungan pacaran bagi perempuan yang belum menikah cukup mengkhawatirkan belakangan ini. Simfoni PPA Tahun 2016 menyebutkan bahwa dari 10.847 pelaku kekerasan sebanyak 2.090 pelaku kekerasan adalah pacar/teman.
Kekerasan dalam pacaran atau dating violence adalah tindak kekerasan terhadap pasangan yang belum terikat pernikahan meliputi kekerasan fisik, emosional, ekonomi dan pembatasan aktivitas.Kekerasan ini merupakan kasus yang sering terjadi setelah kekerasan dalam rumah tangga, namun masih belum begitu mendapat sorotan jika dibandingkan kekerasan dalam rumah tangga sehingga terkadang masih terabaikan oleh korban dan pelakunya.
Berikut bentuk-bentuk kekerasan pada perempuan dalam pacaran diantaranya yaitu :
- Kekerasan fisik seperti memukul, menampar, menendang, mendorong, mencekram dengan keras pada tubuh pasangan dan serangkaian tindakan fisik yang lain.
- Kekerasan emosional atau psikologis seperti mengancam, memanggil dengan sebutan yang mempermalukan pasangan menjelek-jelekan dan lainnya.
- Kekerasan ekonomi seperti meminta pasangan untuk mencukupi segala keperluan hidupnya seperti memanfaatkan atau menguras harta pasangan.
- Kekerasan seksual seperti memeluk, mencium, meraba hingga memaksa untuk melakukan hubungan seksual dibawah ancaman.
- Kekerasan pembatasan aktivitas oleh pasangan banyak menghantui perempuan dalam berpacaran, seperti pasangan terlalu posesif, terlalu mengekang, sering menaruh curiga, selalu mengatur apapun yang dilakukan, hingga mudah marah dan suka mengancam.
Banyak perempuan yang tidak menyadari bahwa dirinya sedang terjerat dalam bentuk kekerasan pembatasan aktivitas, karena dianggap sebagai hal yang wajar sekaligus bentuk rasa peduli dan rasa sayang dari pasangan.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam pacaran, diantaranya yaitu tingkat pendidikan yang rendah, masih adanya pemahaman patriarki, kebiasaan tidak baik seperti memakai narkotika, minum miras, bertengkar tidak bisa mengontrol emosi, perempuan menyerang lebih dulu, terjadinya perselingkuhan, pasangan menganggur, sifat temperamental, pola asuh lekas dengan kekerasan di masa kecil sehingga sering mengalami atau melihat kekerasan, tingkat kesejahteraan ekonomi, lokasi tempat tinggal di perkotaan, efek pergaulan yang akrab dengan kekerasan, efek tayangan media massa yang mengandung unsur kekerasan.
Di sisi lain, pada kasus kekerasan dalam pacaran yaitu perempuan yang menjadi korban cenderung lemah, kurang percaya diri, dan sangat mencintai pasangannya. Banyak pasangan yang setelah melakukan kekerasan langsung berubah signifikan menunjukkan sikap menyesal, minta maaf, dan berjanji tidak akan melakukannya lagi, serta bersikap manis pada korban. Hal ini yang membuat perempuan akan terus memaafkan dan memaklumi sikap pasangannya serta kembali menjalani hubungan pacaran seperti sebelumnya. Padahal seseorang yang pada dasarnya gemar bersikap kasar pada pasangannya, akan cenderung mengulangi hal yang sama karena merupakan kepribadian dan sikap dalam menghadapi konflik atau masalah.
Berbagai dampak yang ditimbulkan dari kekerasan dalam pacaran dintaranya yaitu terjadi gangguan kesehatan dan psikis perempuan yang menjadi korban. Perempuan korban kekerasan fisik atau seksual dalam berpacaran beresiko mengalami keluhan kesehatan 1,5 kali lebih banyak. Dampak fisik bisa berupa memar, patah tulang, dan yang paling berbahaya dapat menyebabkan kecacatan permanen, sedangkan untuk dampak psikologis berupa sakit hati, jatuhnya harga diri, malu dan merasa hina, menyalahkan diri sendiri, ketakutan akan bayang-bayang kekerasan, bingung, cemas, tidak mempercayai diri sendiri dan orang lain, merasa bersalah, memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi hingga munculnya keinginan untuk bunuh diri.
Upaya penanganan bagi perempuan korban kekerasan dalam pacaran dapat dilakukan dengan memberikan dukungan serta menyakinkan korban untuk berani berkata tidak serta menentang segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya, membantu untuk menumbuhkan rasa percaya diri. Untuk korban yang mengalami trauma dibutuhkan penanganan khusus oleh psikiater atau psikolog atau melalui pendampingan korban untuk tahap awal.
Upaya penanganan bagi pelaku kekerasan yaitu menelusuri apa yang menyebabkan pelaku melakukan kekerasan, apakah ada peristiwa buruk atau trauma sehingga lebih memilih menyelesaikan suatu konflik dan hal lainnya dengan kekerasan. Selain itu memberikan konseling ataupun psikoterapi dari psikolog atau psikiater, kepada pelaku agar sadar akan bahaya dampak perbuatannya, baik bagi dirinya sendiri ataupun bagi pasangannya.
Untuk mencegah dan menangani berbagai kasus kekerasan yang dialami perempuan, pemerintah (dalam hal ini Kementerian PPPA) telah melakukan berbagai upaya diantaranya dengan menyusun dan menetapkan berbagai peraturan perundang-undangan, dan mempertegas misi untuk mempersempit peluang terjadinya kekerasan melalui pencanangan “Three Ends” yaitu : Akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak; Akhiri perdagangan orang; dan Akhiri kesenjangan ekonomi bagi perempuan.
Selain itu, langkah lainnya dilakukan melalui berbagai macam KIE untuk memperluas jangkauan informasi tentang hak perempuan ke seluruh masyarakat Indonesia, memastikan dan meningkatkan fungsi kelembagaan di tingkat desa untuk mencegah dan merespon dini ketiaka terjadi kekerasan terhadap perempuan, meningkatkan peran dan fungsi Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak (Satgas PPA) di daerah, serta menggalang dukungan yang masif dari pemangku kepentingan baik dari K/L, Pemda, dan Lembaga Masyarakat.
Pemerintah telah memberikan sejumlah layanan bagi perempuan korban kekerasan yang mencakup layanan pengaduan, kesehatan, bantuan hukum, penegakan hukum, rehabilitasi sosial, reintegrasi sosial, dan pendampingan tokoh agama. Layanan pengaduan menempati urutan tertinggi dengan 1655 layanan (37 persen) yang telah diberikan diikuti dengan layanan kesehatan sebanyak 830 layanan (19 persen). Layanan lain dengan jumlah layanan yang tinggi adalah bantuan hukum dan penegakan hukum dengan jumlah layanan masing-masing 681 dan 677 layanan yang telah diberikan.
Bagi para perempuan yang belum menikah dan sedang atau ingin menjalin hubungan dengan calon pasangan, berikut tips untuk menghindari tindak kekerasan dalam pacaran. Pertama kenali calon pasangan secara menyeluruh sebelum memulai sebuah hubungan yang lebih mendalam dengannya, jangan terlalu cepat mengambil keputusan dan lebih bijak dalam memilih pasangan, berani mengambil sikap dengan mengatakan ‘tidak’ dan menghentikan hubungan ketika menerima tindak kekerasan, membangun komitmen sebelum memulai sebuah hubungan, memperkenalkan pasangan kepada keluarga untuk menimbulkan rasa sungkan dari pasangan terhadap keluarga, pentingnya keterlibatan peran orangtua, serta orang terdekat dalam mengawasi dan menjaga anak, keluarga, teman maupun orang yang kita kenal dari bahaya kekerasan dalam pacaran.
Jika anda atau teman dan orang terdekat mengalami kekerasan dalam pacaran, jangan diam, ragu ataupun takut, segera laporkan kepada pihak berwajib atau dapat menghubungi bagian pengaduan masyarakat Kementerian PPPA melaui telepon di nomor 082125751234 atau datang langsung ke kantor KemenPPPA di jalan merdeka Barat No. 15, Jakarta Pusat.
Ingat, mengakhiri kekerasan terhadap perempuan merupakan kunci untuk mendorong kesetaraan gender dan memungkinkan perempuan untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam kehidupan politik, ekonomi dan sosial. Perempuan merupakan penentu terciptanya generasi yang akan datang, untuk itu mari lindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan demi menghasilkan generasi muda yang baik dan berkualitas.